KISAH
CINTAKU
Malam yang dingin
telah terlewati, indahnya bulan dan bintang tak lagi menghiasi, sang fajarpun
beranjak dari peraduan. Saat aku terjaga dari istirahatku yang melelahkan.
Hari-hari yang
penuh kenangan dengan pahit getirnya kegagalan, kini menjadi pengalaman untuk
mengawali hari esokku yang lebih menyenangkan. Dengan suasana pagi yang cerah
dan hati yang berbunga-bunga, ku buka lembaran baru dengan seuntai senyuman.
Mataharipun sudah
mulai tinggi dan jam dinding menunjukkan pukul 09.30 pagi, hari ini libur
sekolah dan aku akan bertemu dengan seseorang. Dengan busana dan jilbab coklat
yang ku kenakan, ku nyalakan mesin sepeda motorku untuk bergegas menuju arena
tempat perbelanjaan, bukan untuk belanja namun semata-mata karna orang yang
telah memgisi hari-hariku dan mengalihkan duniaku.
Pasar Punggur
tepatnya. Perjalanan yang lumayan jauh dan terik matahari yang menyengat kulit,
tidak sedikitpun menyusutkan niatku untuk mengulur-ngulur waktu perjalananku.
Tak terasa tibalah
aku dilokasi, banyak orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya
ditengang-tengah ramainya Kota. Akupun berhenti sejenak dipinggir jalan raya,
mengambil hanpone dari saku lalu menghubunginya untuk menentukan tempat
berjumpa. Tempat ku sebutkan, diapun memenuhinya.
Sungguh
menegangkan dan aku hanya dapat tercengang. Bukan taman bunga dan indahnya
panorama alam yang ada disekitarnya, namun hanya gundukan sampah dan
rumput-rumput kering yang menjadi saksi bisu ditempat itu. Diteras tokolah kita
akan bertemu. Tempat yang lumayan setrategis namun berkesan tragis.
Dengan suasana
sahdu dan menggembu-gembu ku alihkan perhatianku, dan ditikungan gang pasar aku
menunggu. Dan tidak lama kemudian,
“Hey....., sudah lama sampainya??, Kirain bukan kamu tadi.” Sapa
seseorang yang muncul dari arah kananku. Dengan menjaga nada suaranya sewajar
mungkin dia mengawali sapa itu. Seorang pemuda yang datang dengan sepeda
motornya dan berpakaian rapi. Diapun semakin mendekat lalu menghampiriku. “Hey
juga...., belum lama kok.” Dengan gugup aku membalasnya. Dengan penuh penasaran
aku mencoba menatapnya, dalam hati kecilku bertanya: mungkinkah dia orang yang
selama ini ku puja....???.
“Dari rumah jam
berapa tadi....??”, Tegur dia membuyarkan lamunanku. Akupun langsung
mengalihkan pandanganku dengan penuh rasa malu. “Jalannya masih rusak ya...??”.
Tambah dia dengan nada menggoda. “Jam 09.30, sudah lumayan baik kok sekarang.”
Jawabku dengan penuh kepastian. “Kalau kamu sendiri dan ini dari rumah apa dari
mana...??”. Tanyaku penasaran. “Aku dari rumah, tapi nanti habis dhuhur aku langsung
berangkat kerja.” Jawab dia dengan penuh penjelasan.
Akupun telah mati
gaya dibuatnya, sikap dan sifatku yang cuek dan cerewet saat dibelakangnya kini
luluh dan sirna saat berada didepannya. Hanya senyuman yang dapat aku lontarkan
untuk membalas tatapannya yang begitu dalam dan sinar matanya yang
berbinar-binar.
Diapun tiba-tiba
berpaling lalu melangkah menuju warung kecil disebrang jalan, dia membeli 2
botol minuman lalu kembali menghampiriku. “Ini silahkan diminum.” Sambil
mengulurkannya dia menawarkan sebotol air minum kepadaku. “Iya.... terimakasih.”
Akupun menerimanya. Satu derajatpun aku tidak bergeser dari tempatku, aku hanya
berdiri bersandar dinding toko. Diapun juga begit, dengan tangan terbelenggu di
dinding sebelah kananku dia sandarkan tubuhnya. Suasana kini menjadi tak
menentu, karena kita berdua hanya diam dan membisu.
“Gimana sekarang
setelah ketemu, sudah tau orangnya kan...??”. Tegurku sambil meliriknya.
“Beginilah aku.... Orangnya hitam, pendek, dan jelek pula. Jadi apa yang kamu
baca dan dengar lewat hanpone itu tidak sesuai dangan kenyataan dan beginilah
aku yang sebenarnya.” Paparku dengan nada hambar. “Semoga kamu tidak menyesal
dengan pertemuan ini.” Tambahku sambil merundukkan bahu.
Diapun hanya dapat
terdiam mendengarkan semua penjelasanku namun tatapannya tajam terus
mengintaiku dari belakang. “aku tidak menyesal dengan pertemuan ini dan aku senang
dapat bertemu dengan kamu.” Balas dia dengan penuh harapan. “Semoga pertemuan
ini menjadi awal perkenalan kita semakin dekat.” Senyumnya yang merekah dari
bibirnya.
Tidak terasa waktu
yang terus berputar dan sang surya sudah berada diatas kepala. Kewajiban
mengingatkanku pada yang kuasa dan tanggung jawab menuntutku untuk segera
pulang. “Ya sudah, kita kan sudah bertemu dan katanya tadi habis dhuhur kamu
mau kerja. Jadi pertemuan cukup sampai disini dulu ya, nanti kesorean kamu
tidak jadi kerja.” Dengan nada lirih aku memberikan pengertian kepada dia.
“Iya....?!!”. sambil mengangguk diapun ikut tersenyum. “Ya sudah, aku jalan
dulu ya dan kamu hati-hati dijalan.” Dengan langkah berat dia meninggalkanku
dengan mengenderai sepeda motornya dan hanya senyuman manja yang dia tinggalkan
untukku. “Iya sama-sama, kamu juga hati-hati dijalan.” Balasku dengan nada
hambar rasa kehilangan.
Hanya senyumku
yang semakin pudar dan tatapanku yang semakin samar-samar yang dapat mengiringi
perjalanannya menyusuri tepi pasar menuju jalan pulang. Kini ada yang hilang
dalam jiwaku dan ada yang bertambah dalam hatiku. Perasaan yang tidak ingin
pisah dengannya sangat terasa saat dia meninggalkanku dan perasaan
menggembu-gembu membakar dada saat senyum dia lontarkan kepadaku. Dalam
pertemuan memang tak banyak kata yang diungkapkan, walau tak sedikit waktu yang
dihabiskan. Semuanya bagaikan mimpi tapi memang begitulah perasaan.
Waktu yang
mempertemukan kita dan kini waktu pulalah yang harus memisahkan kita. Kesan dan
kenangan dari awal sebuah pertemuan kini telah menjadi hayalan dalam indahnya harapan. Sukar dijelaskan dan
sulit dilukiskan akan apa yang aku rasakan, saat jiwa bergejolak dan hati
berbunga-bunga, dalam dadapun aku meraba: apa sebenarnya yang terjadi pada
diriku ini....??.
Lina Syarifah, itulah namaku
yang diberikan saat aku dilahirkan oleh ibuku. Sebuah nama yang kini penuh
dengan sejuta makna yang lebih akrab dengan sapaan Lina. Sosokku yang periang,
humoris tapi egois, mudah disayang juga mudah dibenci. Perjalanan cintaku
dimasa lalu telah membuatku terpuruk dan kini hari-hariku terasa indah saat aku
mulai menemukan tuna-tunas cinta baru dalam diriku.
Ian, itulah dia
atau lebih lengkapnya Sudianto. Dia adalah pemuda yang baik tapi keras kepala,
dia sudah bekeja. Hari-haripun yang kita jalani dan waktu demi waktu yang kita
lewati. Hanya berbaur canda, tawa dan goda walau itu hanya abadi lewat udara,
namu terkesan nyata dan seakan kita bersama.
Setelah kurang
lebih 3 bulan kita kenalan dan bertemu sebelumnya, tepat pada malam 14 Maret
2010 melalui kata-kata yang dia kirimkan melalui pesan singkat yang berisi
tentang isi hatinya kepadaku dan akupun membalasnya. Ternyata apa yang aku
harapkan dia juga menginginkan dan apa yang aku rasakan dia juga merasakannya.
Bunga-bunga cinta telah tumbuh dan mulai bersemi di dalam hati ini, merasuk
dalam jiwaku dan mengalir melalui darah. Kini semua telah berubah, dari suasana
hingga keadaan bahkan sapaan yang sebelumnya membuat kita janggal.
Dinda, sebuah
sapaan yang dia sandangkan untukku. Bukti rasa sayangnya dalam bentuk goresan
nama. Akupun tersanjung dan tak kuasa untuk menolak sapaan itu dan tanpa pikir
panjang sebutan “Kanda” aku lontarkan kepadanya. Suasana haripun kini menjadi
lebih hangat dan berwarna. Dengan sebutan nama itu sesuatu membuat kita nyaman
dan susah untuk saling melupakan. Hingga
tak terasa semua itu mengalihkan dunia kita.
Minggu demi minggu
telah berlalu dan bulan demi bulan telah
kita lewatkan, tepatnya hari minggu tanggal 04 April 2010 adalah ulang tahun
kanda. Nurlailya yang biasa disapa Lya adalah temanku yang baik, lucu, gemesin,
dan gendut. Siang itu aku dan Lya pergi ke pasar, sesampainya di pasar kami
menuju sebuah toko kue. Disitulah aku membeli kue tar untuk acara nanti malam.
Aku dan Lya berencana membuat kejutan untuk Ian. Naman acaranya bukan dirumahku
melainkan dirumah pamanku. Sebelumnya aku sudah merencanakan dengan temannya
kanda namanya Zainudin yang biasa disapa Udin. Diapun menyetujuinya dan
membantu rencanaku ini.
Pada minggu sore
disela-sela senja, aku dan Lya berangkat kerumah pamanku yang hanya
menghabiskan waktu 10 menit untuk sampai disana. Kamipun sampai di rumah
pamanku dan kami akan menunggu kedatangan kanda dan Udin. Sambil menunggu, kami
berbincang-bincang dengan paman, bibi, dan nenek. Tak terasa adzan mahgrib
tiba, kami segera mengambil air wudhu lalu shalat.
Usai shalat
mahgrib, aku menghubungi Udin dan ternyata mereka baru saja akan berangkat
menuju rumah pamanku. Setelah 1 jam lewat, ku dengar ada suara sepeda motor
lalu aku keluar untuk melihat siapakah yang datang. Ternyata kanda dan Udin
yang datang. “Assalamu’alaikum.....???”. Merekapun memberi salam dengan nada
rendah. “Waa’alaikumsalam, masuk....?!!”. Balaan salam bergema dari dalam
rumah. Merekapun masuk lalu berjabat tangan dengan Lya, aku, paman, bibi, dan
nenek. “Silahkan duduk.......,” timpalku menyuruh mereka untuk segera istirhat
di sofa. Paman, bibi, dan nenek meninggalkan kami berempat.
“Cuma berdua saja
to...??”. Sapaku dengan nada rendah. “Iya...!!?”. dengan ragu-ragu mereka
menjawabnya. Kamipun terdiam seperti tidak punya bahan pembicaraan. Menit demi menit telah berlalu dan sebuah
sapaan manja bergumam dari seseorang yang menghampiri dan memecahkan keheningan
kita. “Kok diam semua, ngomong gitu lho....?!!!”. Dengan nampan ditangannya,
Lya muncul dari balik pintu dapur sambil senyum yang sok akrab. “Silahkan
diminum...???”. Sambil memberikan minuman kepada mereka berdua.
Dengan jumlah kita
yang menjadi empat dan segelas teh manis yang menemaninya, ternyata bukan
jaminan suasana akan menjadi hangat. Kehadiran Udin da Lya ditengah-tengah kita
tidak lebih dari sepasang cicak di dinding yang sedang mengintai mangsanya,
mereka hanya terdiam. “Kenapa Cuma
diam...??”. Sapa kanda dengan penuh kelembutan dan tatapannya tertuju kepadaku.
Aku hanya dapat menunduk mendengar pernyataan itu, aku merasa malu akan diriku
hingga untuk membalas sapaanya saja lidahku serasa kelu. “Tidak apa-apa kok,
siapa juga yang diam.” Dengan menjaga nada suaraku, ku angkat dahuku namun aku
tidak berani menatapnya. “Maling ngaku penjara penuh.” Tambahnya dengan kata
menggoda. Aku hanya dapat tersenyum mendengar ucapannya. “Kok dari tadi tidak
bicara sich.....!?”. Tegur kanda dengan penuh harapan. Akupun menghela nafas
dan mencoba menatap kanda dengan penuh kepastian. Kanda membalasnya dengan
sinar matanya yang redup. Kita sama-sama tersenyum simpu, lalu menunduk malu
dan tidak peduli dengan mereka berdua yang tetap membisu.
Seiring
berjalannya waktu dan beberapa percakapan diantara kita berempat sudah berlalu.
Aku dan Lya masuk kedalam kamar untuk mengambil kue tar yang tadi siang kita
beli. Ku tancapkan lilin diatas kue tar lalu ku nyalakan api. “Ayo kita
keluar....,” Aku yang sudah siap di belakang Lya dan mengajaknya keluar dari
kamar dengan kue tar ditanganku. “Happy b’day ya kanda.....!??”. Ucapku sembari
mendekati kanda dan mengulurkan tanganku yang memegang kue tar. Tatapannya yang
dalam dan senyum tulusnya membuat hatiku merejam dan darahku berhenti mengalir.
Sungguh aku tak
kuasa menahan haru, perasaan gerogi dan malu telah sirna ditelan haru. Dengan
muka merah pucat kanda meniup lilin itu dari tanganku dan mereka tersenyum
melihat kebahagiaan yang kanda rasakan. Kandapun segeramemotong kuenya dan
diambilnya sebagian lalu diberikan kepadaku. Dengan seuntai senyum yang kanda
hidangkan dan tatapannya yang redup, segumpal kue yang kanda suapkan dan dengan
rasa malu aku melahapnya dengan penuh perasaan. Kanda baru menyadari ternyata
hari ini tanggal 4 April 2010 genap usianya 21 tahun.
Waktupun tak
terasa melaju pada porosnya, hingga canda dan tawa mengantarkan kita di
penghujung jumpa. Kanda dan Udin berpamitan, hanya senyum dan do’alah yang
dapat kami bagikan disaat salam perpisahan. Mereka semakin jauh hingga tak
terlihat lagi. “Mbak, kuenya ku makan ya....???”. Pinta Lya kepada ku. “Iya,
habiskan saja.” Balasku sembari menutup pintu. Akupun duduk kembali sambil
menunggu Lya selesai makan. “Ayo kita tidur, sudah malam nich.” Ajakku setelah
Lya selesai makan. “Heeemmmm, kenyang... ayo kita tidur.” Dia merasa puas dan
menerima ajakanku untuk segera tidur.
Sungguh indah
malam ini, hingga dalam sejenakpun aku tidak dapat menghapus bayangannya dalam
ingatanku. Selalu datang menghantuiku, hingga dalam tidurku dia menjelma
dimimpi indahku.
Setelah beberapa
bulan kemudian, aku mendapatkan pesan singkat dari nomor baru yang tidak ku
ketahui siapa pemiliknya. Pesan singkat itu berisi tentang masa lalu kanda.
Lalu aku memberikan kabar ini dan ternyata kanda juga mendapat pesan singkat dari seseorang yang berisi tentang kejelekan
ku. Malam minggu telah tiba, kanda dan Mardi main kerumah nenek samping
rumahku. Mardi adalah sepupu kanda. Sesampainya dirumah nenekku kami pun
berbincang-bincang suasana menjadi ramai karena ada Laila yang cerewet dan serius
tapi suka bercanda. Laila adalah adik sepupuku. “Siapakah kanda yang sudah
mengadu domba kita.....???”. Tanyaku penuh rasa penasaran ingin tau. “Dia
adalah mantan kanda, dia tidak terima karna kanda memutuskannya.” Kanda memberi
penjelasan kepadaku. “Tau apa dia tentang dinda, dinda tidak seburuk dengan apa
yang dia katakan.” Aku tak mengerti. “Cukup dinda, kanda tidak akan mempercayai
dia. Mungkin dia iri dengan hubungan kita, dinda jangan hiraukan dia ya...,”
kanda mencoba menenangkan aku. Akupun merasa sedikit tenang karna ketulusan
kasih sayang yang kanda berikan.
Waktupun
memisahkan kita dan kita hanya dapat tersenyum dengan sejuta rasa di dalam dada
dan jam diding menunjukkan pukul 21.00. “Ya sudah, kanda pulang dulu ya dinda.”
Kanda berpamitan sambil mencubit hidungku, aku hanya tersenyum manja
menggodanya. “Ya sudah, hati-hati dijalan ya kanda.” Dengan rasa tak rela ku
ditinggalkan.
Sungguh susah
diungkapkan dan sulit dilukiskan, karena sepanjang hidupku baru kali ini aku
merasakan sesuatu yang berbeda di hatiku. Membakar jiwaku dan meluluhkan
perasaanku. “Mudah-mudahan dia yang terbaik untukku.” Pintaku kepada sang
pencipta. “Amiiiiiiiin....,” Sahut seseorang dari belakangku. Ternyata laila,
dia mengagetkanku dan membuyarkan hayalanku.
Tahun baru 2011
telah tiba, tahun bru serasa tak punya pacar hanya sendiri yang ku rasakan.
Walaupun kekasih jauh disana namun tetap selalu dekat dihati. Di tahun ini aku
berdo’a, semoga hubungan kita akan baik-baik saja dan selalu dalam ridho Allah
SWT, amin.
Hubungan yang kita
jalani selama satu tahun pertama berjalan diatas tanpa hambatan sedikitpun dan
walaupun masih backstreet tapi kita merasa nyaman dan itu tidak menjadi
permasalahan. Seiya sekata, senada seirama itulah konsep yang kita jalani.
Hingga banyak teman-temanku dan teman-teman kanda yang iri akan kekompakan dan
kecocokan kita berdua. Namun, terkadang sifat kanda yang konyol membuatku
kecewa. Kanda sering matiin hpnya tanpa sebab dan tidak memberikan kabar
kepadaku.
Roda selalu
berputar, tak selamanya seseorang itu berada pada bagian yang paling atas
Begitu pula pada kehidupan seseorang tak selamanya merasakan kebahagian, maupn
dalam suatu hubungan yang banyak rintangan menghadang. Sebagai hamba Allah, aku
hanya dapat berdo’a dan berusaha.
Pada suatu saat, karena aku
tidak terima dengan perbuatannya. Dengan rasa terpaksa aku memutuskannya,
mungkin dengan ini kanda bisa berubah. Terima tidak terima tapi inilah yang
harus ku lakukan untuk hubungan kita. Sebenarnya aku masih menyayanginya dan
sedih jika berpisah darinya. Maafkan aku kanda, aku yakin ini yang terbaik
untuk kita berdua.
Hari-hariku lalui
tanpa kanda, akupun merasa kesepian sememjak aku berpisah dengannya. Puasa
ramadhan tiba aku mencoba menghubungi kanda, aku mau minta maaf padanya namun nomornya
tidak aktiv. Aku tanya dengan teman-teman kanda melalui alat komuikasi. “Din,
kamu tau tidak nomor barunya Ian....???”, Tanyaku kepada Udin. “Aku tidak tau
cuy...,” Jawabnya dengan nada rendah. Akupun sedih ternyata teman dekatnya
tidak mengetahuinya. “Gimana kabarnya Ian....??”, Tanyaku lebih lanjut. “Dia
tidak dirumah, jadi aku tidak tau...,” Udinpun menjawab penuh penjelasan.
“Emang dia kemana...??”, Akupun semakin penasaran. “Dia pergi kejakarta sebelum
puasa kurang dua hari.” Dengan nada hati-hati Udin memberi tau aku keberadaan
Ian. akupun merasa bersalah dengan semua ini. Aku bertanya pada teman kanda
yang satunya Arif rahman yang biasa disapa Arif. “Rif, kamu tau tidak nomor Ian
yang baru...??”, Dengan penuh harapan semoga dia tau. “Tau, tapi kamu jangan
bilang kalau aku yang kasih tau kamu.” Jelasnya karna takut Ian marah padanya.
“Iya, aku tidak akan bilang sama dia.” Aku memastikan Arif. Akupun mendapatkan
nomor barunya kanda.
Sebelum berangkat
tarawih aku mencoba menggodanya melalui pesan singkat, Kandapun membalasnya.
Sepulang dari tarawih aku menelpon kanda namun tidak ada jawaban darinya.
Dipagi harinya aku mencoba kembali, tetap saja tidak ada hasilnya. Sampai
beberapa hari aku tidak menghubunginya.
Waktupun terus
berjalan, hari-hari yang telah lalu membuatku semakin sedih. Tiba-tiba ada
pesan singkat dari kanda yang berisi tentang perasaannya selama ini. Kanda
tidak bisa jauh dariku, walaupun dia pergi jauh dan ganti nomor ternyata dia
tetap tidak bisa melupakan aku. Aku bahagia atas kejujurannya selama ini.
Kitapun balikan lagi sebelum lebaran kurang seminggu. Aku juga merasa
kehilangan saat tak bersamanya lagi, karna sebenarnya aku sangat menyayanginya.
Lebaran telah
tiba, pada hari lebaran ke 5 kanda dan Udin silaturrahmi kerumahku. Disaat itu
nenek yang tinggal di dekat rumahku sedang sakit. Banyak saudara yang datang
tidak lain adalah anak-anaknya beserta keluarga. Setelah beberapa jam kemudian
kamipun pergi main ketempat Lya yang lumayan jauh dari rumahku. Aku mengajak
adik sepupuku namanya sofiatul afifah yang biasa disapa fifi. Dia masih
bersekolah di SMPN 1 Punggur kelas 2.
Hidupku terasa
indah karna kebersamaan yang kini telah kembali, aku dan kanda selalu
melengkapi kekurangan masing-masing. Roda terus berputar dan di pertengahan
tahun kedua cinta kita diuji. Pengumuman kelulusanku telah tiba, aku dan
teman-teman sangat bahagia karna kami masih bisa bersama. Aku dan teman
melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi yaitu di STAIN Jurai Siwo Metro.
Walaupun kami tidak satu jurusan namun kami masih bisa bertemu. Suasana baru dibangku kuliah menjadi pemicu
pertengkaran hingga retaknya hubunganku dengan kanda.
Kesibukanku yang
bertubi-tubi, kabar yang semakin hilang dan pertemuan yang tak pernah ada.
Membuat kanda tertekan dan salah paham, akupun menyadari akan hal itu. Masalah
demi masalah datang tanpa kita tau darimana sumbernya. Kesabaran kanda mencapai
pada puncaknya, akan sifat dan sikapku yang terus-terusan memojokkan kanda dan
perpisahan menjadi jawaban dari pertengkaran kita.
Sungguh hatiku tak
kuasa menahan lara akan keputusan ini, hatikupun hancur berkeping-keping dan
haprapanku kini menjadi kenangan pahit yang harus aku lupakan. Kini hanya do’a
yang dapat aku titihkan dalam hembusan nafasku disetiap sujudku. Semoga kanda selalu
bahagia dengan jalan hidupnya yang baru. Ternyata ketulusan itu tidak mudah
untuk disuguhkan dan teramat sakit saat dipertanyakan, namun dari awal aku
mengenalnya bukan belaajar mencintainya tapi aku belajar tulus untuk
menyayanginya dan dari ketulusan itu aku harus belajar untuk ikhlas
merelakannya.
Seiring
bergulirnya waktu dan padatnya kesibukan yang ku jalani, sejenak aku dapat
membaurkan bayangan kanda dalam pikiranku walau tak dapat aku ingkari namanya
yang masih tergores didalam hatiku. Aku hanya ingin kanda bahagia meski tak
bersamaku lagi. “Jika kita berjodoh, pasti kita akan bersatu kembali.” Itulah
kata-kataku terakhir untuknya.
*****
SEKIAN *****
0 komentar:
Posting Komentar