Definition List

Minggu, 26 Mei 2013

-->
KISAH CINTAKU

Malam yang dingin telah terlewati, indahnya bulan dan bintang tak lagi menghiasi, sang fajarpun beranjak dari peraduan. Saat aku terjaga dari istirahatku yang melelahkan.
Hari-hari yang penuh kenangan dengan pahit getirnya kegagalan, kini menjadi pengalaman untuk mengawali hari esokku yang lebih menyenangkan. Dengan suasana pagi yang cerah dan hati yang berbunga-bunga, ku buka lembaran baru dengan seuntai senyuman.
Mataharipun sudah mulai tinggi dan jam dinding menunjukkan pukul 09.30 pagi, hari ini libur sekolah dan aku akan bertemu dengan seseorang. Dengan busana dan jilbab coklat yang ku kenakan, ku nyalakan mesin sepeda motorku untuk bergegas menuju arena tempat perbelanjaan, bukan untuk belanja namun semata-mata karna orang yang telah memgisi hari-hariku dan mengalihkan duniaku.
Pasar Punggur tepatnya. Perjalanan yang lumayan jauh dan terik matahari yang menyengat kulit, tidak sedikitpun menyusutkan niatku untuk mengulur-ngulur waktu perjalananku.
Tak terasa tibalah aku dilokasi, banyak orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya ditengang-tengah ramainya Kota. Akupun berhenti sejenak dipinggir jalan raya, mengambil hanpone dari saku lalu menghubunginya untuk menentukan tempat berjumpa. Tempat ku sebutkan, diapun memenuhinya.
Sungguh menegangkan dan aku hanya dapat tercengang. Bukan taman bunga dan indahnya panorama alam yang ada disekitarnya, namun hanya gundukan sampah dan rumput-rumput kering yang menjadi saksi bisu ditempat itu. Diteras tokolah kita akan bertemu. Tempat yang lumayan setrategis namun berkesan tragis.
Dengan suasana sahdu dan menggembu-gembu ku alihkan perhatianku, dan ditikungan gang pasar aku menunggu. Dan tidak lama kemudian,  “Hey....., sudah lama sampainya??, Kirain bukan kamu tadi.” Sapa seseorang yang muncul dari arah kananku. Dengan menjaga nada suaranya sewajar mungkin dia mengawali sapa itu. Seorang pemuda yang datang dengan sepeda motornya dan berpakaian rapi. Diapun semakin mendekat lalu menghampiriku. “Hey juga...., belum lama kok.” Dengan gugup aku membalasnya. Dengan penuh penasaran aku mencoba menatapnya, dalam hati kecilku bertanya: mungkinkah dia orang yang selama ini ku puja....???.
“Dari rumah jam berapa tadi....??”, Tegur dia membuyarkan lamunanku. Akupun langsung mengalihkan pandanganku dengan penuh rasa malu. “Jalannya masih rusak ya...??”. Tambah dia dengan nada menggoda. “Jam 09.30, sudah lumayan baik kok sekarang.” Jawabku dengan penuh kepastian. “Kalau kamu sendiri dan ini dari rumah apa dari mana...??”. Tanyaku penasaran. “Aku dari rumah, tapi nanti habis dhuhur aku langsung berangkat kerja.” Jawab dia dengan penuh penjelasan.
Akupun telah mati gaya dibuatnya, sikap dan sifatku yang cuek dan cerewet saat dibelakangnya kini luluh dan sirna saat berada didepannya. Hanya senyuman yang dapat aku lontarkan untuk membalas tatapannya yang begitu dalam dan sinar matanya yang berbinar-binar.
Diapun tiba-tiba berpaling lalu melangkah menuju warung kecil disebrang jalan, dia membeli 2 botol minuman lalu kembali menghampiriku. “Ini silahkan diminum.” Sambil mengulurkannya dia menawarkan sebotol air minum kepadaku. “Iya.... terimakasih.” Akupun menerimanya. Satu derajatpun aku tidak bergeser dari tempatku, aku hanya berdiri bersandar dinding toko. Diapun juga begit, dengan tangan terbelenggu di dinding sebelah kananku dia sandarkan tubuhnya. Suasana kini menjadi tak menentu, karena kita berdua hanya diam dan membisu.
“Gimana sekarang setelah ketemu, sudah tau orangnya kan...??”. Tegurku sambil meliriknya. “Beginilah aku.... Orangnya hitam, pendek, dan jelek pula. Jadi apa yang kamu baca dan dengar lewat hanpone itu tidak sesuai dangan kenyataan dan beginilah aku yang sebenarnya.” Paparku dengan nada hambar. “Semoga kamu tidak menyesal dengan pertemuan ini.” Tambahku sambil merundukkan bahu.
Diapun hanya dapat terdiam mendengarkan semua penjelasanku namun tatapannya tajam terus mengintaiku dari belakang. “aku tidak menyesal dengan pertemuan ini dan aku senang dapat bertemu dengan kamu.” Balas dia dengan penuh harapan. “Semoga pertemuan ini menjadi awal perkenalan kita semakin dekat.” Senyumnya yang merekah dari bibirnya.
Tidak terasa waktu yang terus berputar dan sang surya sudah berada diatas kepala. Kewajiban mengingatkanku pada yang kuasa dan tanggung jawab menuntutku untuk segera pulang. “Ya sudah, kita kan sudah bertemu dan katanya tadi habis dhuhur kamu mau kerja. Jadi pertemuan cukup sampai disini dulu ya, nanti kesorean kamu tidak jadi kerja.” Dengan nada lirih aku memberikan pengertian kepada dia. “Iya....?!!”. sambil mengangguk diapun ikut tersenyum. “Ya sudah, aku jalan dulu ya dan kamu hati-hati dijalan.” Dengan langkah berat dia meninggalkanku dengan mengenderai sepeda motornya dan hanya senyuman manja yang dia tinggalkan untukku. “Iya sama-sama, kamu juga hati-hati dijalan.” Balasku dengan nada hambar rasa kehilangan.
Hanya senyumku yang semakin pudar dan tatapanku yang semakin samar-samar yang dapat mengiringi perjalanannya menyusuri tepi pasar menuju jalan pulang. Kini ada yang hilang dalam jiwaku dan ada yang bertambah dalam hatiku. Perasaan yang tidak ingin pisah dengannya sangat terasa saat dia meninggalkanku dan perasaan menggembu-gembu membakar dada saat senyum dia lontarkan kepadaku. Dalam pertemuan memang tak banyak kata yang diungkapkan, walau tak sedikit waktu yang dihabiskan. Semuanya bagaikan mimpi tapi memang begitulah perasaan.
Waktu yang mempertemukan kita dan kini waktu pulalah yang harus memisahkan kita. Kesan dan kenangan dari awal sebuah pertemuan kini telah menjadi hayalan  dalam indahnya harapan. Sukar dijelaskan dan sulit dilukiskan akan apa yang aku rasakan, saat jiwa bergejolak dan hati berbunga-bunga, dalam dadapun aku meraba: apa sebenarnya yang terjadi pada diriku ini....??.
Lina Syarifah, itulah namaku yang diberikan saat aku dilahirkan oleh ibuku. Sebuah nama yang kini penuh dengan sejuta makna yang lebih akrab dengan sapaan Lina. Sosokku yang periang, humoris tapi egois, mudah disayang juga mudah dibenci. Perjalanan cintaku dimasa lalu telah membuatku terpuruk dan kini hari-hariku terasa indah saat aku mulai menemukan tuna-tunas cinta baru dalam diriku.
Ian, itulah dia atau lebih lengkapnya Sudianto. Dia adalah pemuda yang baik tapi keras kepala, dia sudah bekeja. Hari-haripun yang kita jalani dan waktu demi waktu yang kita lewati. Hanya berbaur canda, tawa dan goda walau itu hanya abadi lewat udara, namu terkesan nyata dan seakan kita bersama.
Setelah kurang lebih 3 bulan kita kenalan dan bertemu sebelumnya, tepat pada malam 14 Maret 2010 melalui kata-kata yang dia kirimkan melalui pesan singkat yang berisi tentang isi hatinya kepadaku dan akupun membalasnya. Ternyata apa yang aku harapkan dia juga menginginkan dan apa yang aku rasakan dia juga merasakannya. Bunga-bunga cinta telah tumbuh dan mulai bersemi di dalam hati ini, merasuk dalam jiwaku dan mengalir melalui darah. Kini semua telah berubah, dari suasana hingga keadaan bahkan sapaan yang sebelumnya membuat kita janggal.
Dinda, sebuah sapaan yang dia sandangkan untukku. Bukti rasa sayangnya dalam bentuk goresan nama. Akupun tersanjung dan tak kuasa untuk menolak sapaan itu dan tanpa pikir panjang sebutan “Kanda” aku lontarkan kepadanya. Suasana haripun kini menjadi lebih hangat dan berwarna. Dengan sebutan nama itu sesuatu membuat kita nyaman dan susah untuk  saling melupakan. Hingga tak terasa semua itu mengalihkan dunia kita.
Minggu demi minggu telah berlalu dan bulan  demi bulan telah kita lewatkan, tepatnya hari minggu tanggal 04 April 2010 adalah ulang tahun kanda. Nurlailya yang biasa disapa Lya adalah temanku yang baik, lucu, gemesin, dan gendut. Siang itu aku dan Lya pergi ke pasar, sesampainya di pasar kami menuju sebuah toko kue. Disitulah aku membeli kue tar untuk acara nanti malam. Aku dan Lya berencana membuat kejutan untuk Ian. Naman acaranya bukan dirumahku melainkan dirumah pamanku. Sebelumnya aku sudah merencanakan dengan temannya kanda namanya Zainudin yang biasa disapa Udin. Diapun menyetujuinya dan membantu rencanaku ini.
Pada minggu sore disela-sela senja, aku dan Lya berangkat kerumah pamanku yang hanya menghabiskan waktu 10 menit untuk sampai disana. Kamipun sampai di rumah pamanku dan kami akan menunggu kedatangan kanda dan Udin. Sambil menunggu, kami berbincang-bincang dengan paman, bibi, dan nenek. Tak terasa adzan mahgrib tiba, kami segera mengambil air wudhu lalu shalat.
Usai shalat mahgrib, aku menghubungi Udin dan ternyata mereka baru saja akan berangkat menuju rumah pamanku. Setelah 1 jam lewat, ku dengar ada suara sepeda motor lalu aku keluar untuk melihat siapakah yang datang. Ternyata kanda dan Udin yang datang. “Assalamu’alaikum.....???”. Merekapun memberi salam dengan nada rendah. “Waa’alaikumsalam, masuk....?!!”. Balaan salam bergema dari dalam rumah. Merekapun masuk lalu berjabat tangan dengan Lya, aku, paman, bibi, dan nenek. “Silahkan duduk.......,” timpalku menyuruh mereka untuk segera istirhat di sofa. Paman, bibi, dan nenek meninggalkan kami berempat.
“Cuma berdua saja to...??”. Sapaku dengan nada rendah. “Iya...!!?”. dengan ragu-ragu mereka menjawabnya. Kamipun terdiam seperti tidak punya bahan pembicaraan.  Menit demi menit telah berlalu dan sebuah sapaan manja bergumam dari seseorang yang menghampiri dan memecahkan keheningan kita. “Kok diam semua, ngomong gitu lho....?!!!”. Dengan nampan ditangannya, Lya muncul dari balik pintu dapur sambil senyum yang sok akrab. “Silahkan diminum...???”. Sambil memberikan minuman kepada mereka berdua.
Dengan jumlah kita yang menjadi empat dan segelas teh manis yang menemaninya, ternyata bukan jaminan suasana akan menjadi hangat. Kehadiran Udin da Lya ditengah-tengah kita tidak lebih dari sepasang cicak di dinding yang sedang mengintai mangsanya, mereka hanya terdiam.  “Kenapa Cuma diam...??”. Sapa kanda dengan penuh kelembutan dan tatapannya tertuju kepadaku. Aku hanya dapat menunduk mendengar pernyataan itu, aku merasa malu akan diriku hingga untuk membalas sapaanya saja lidahku serasa kelu. “Tidak apa-apa kok, siapa juga yang diam.” Dengan menjaga nada suaraku, ku angkat dahuku namun aku tidak berani menatapnya. “Maling ngaku penjara penuh.” Tambahnya dengan kata menggoda. Aku hanya dapat tersenyum mendengar ucapannya. “Kok dari tadi tidak bicara sich.....!?”. Tegur kanda dengan penuh harapan. Akupun menghela nafas dan mencoba menatap kanda dengan penuh kepastian. Kanda membalasnya dengan sinar matanya yang redup. Kita sama-sama tersenyum simpu, lalu menunduk malu dan tidak peduli dengan mereka berdua yang tetap membisu.
Seiring berjalannya waktu dan beberapa percakapan diantara kita berempat sudah berlalu. Aku dan Lya masuk kedalam kamar untuk mengambil kue tar yang tadi siang kita beli. Ku tancapkan lilin diatas kue tar lalu ku nyalakan api. “Ayo kita keluar....,” Aku yang sudah siap di belakang Lya dan mengajaknya keluar dari kamar dengan kue tar ditanganku. “Happy b’day ya kanda.....!??”. Ucapku sembari mendekati kanda dan mengulurkan tanganku yang memegang kue tar. Tatapannya yang dalam dan senyum tulusnya membuat hatiku merejam dan darahku berhenti mengalir.
Sungguh aku tak kuasa menahan haru, perasaan gerogi dan malu telah sirna ditelan haru. Dengan muka merah pucat kanda meniup lilin itu dari tanganku dan mereka tersenyum melihat kebahagiaan yang kanda rasakan. Kandapun segeramemotong kuenya dan diambilnya sebagian lalu diberikan kepadaku. Dengan seuntai senyum yang kanda hidangkan dan tatapannya yang redup, segumpal kue yang kanda suapkan dan dengan rasa malu aku melahapnya dengan penuh perasaan. Kanda baru menyadari ternyata hari ini tanggal 4 April 2010 genap usianya 21 tahun.
Waktupun tak terasa melaju pada porosnya, hingga canda dan tawa mengantarkan kita di penghujung jumpa. Kanda dan Udin berpamitan, hanya senyum dan do’alah yang dapat kami bagikan disaat salam perpisahan. Mereka semakin jauh hingga tak terlihat lagi. “Mbak, kuenya ku makan ya....???”. Pinta Lya kepada ku. “Iya, habiskan saja.” Balasku sembari menutup pintu. Akupun duduk kembali sambil menunggu Lya selesai makan. “Ayo kita tidur, sudah malam nich.” Ajakku setelah Lya selesai makan. “Heeemmmm, kenyang... ayo kita tidur.” Dia merasa puas dan menerima ajakanku untuk segera tidur.
Sungguh indah malam ini, hingga dalam sejenakpun aku tidak dapat menghapus bayangannya dalam ingatanku. Selalu datang menghantuiku, hingga dalam tidurku dia menjelma dimimpi indahku.
Setelah beberapa bulan kemudian, aku mendapatkan pesan singkat dari nomor baru yang tidak ku ketahui siapa pemiliknya. Pesan singkat itu berisi tentang masa lalu kanda. Lalu aku memberikan kabar ini dan ternyata kanda juga mendapat pesan singkat  dari seseorang yang berisi tentang kejelekan ku. Malam minggu telah tiba, kanda dan Mardi main kerumah nenek samping rumahku. Mardi adalah sepupu kanda. Sesampainya dirumah nenekku kami pun berbincang-bincang suasana menjadi ramai karena ada Laila yang cerewet dan serius tapi suka bercanda. Laila adalah adik sepupuku. “Siapakah kanda yang sudah mengadu domba kita.....???”. Tanyaku penuh rasa penasaran ingin tau. “Dia adalah mantan kanda, dia tidak terima karna kanda memutuskannya.” Kanda memberi penjelasan kepadaku. “Tau apa dia tentang dinda, dinda tidak seburuk dengan apa yang dia katakan.” Aku tak mengerti. “Cukup dinda, kanda tidak akan mempercayai dia. Mungkin dia iri dengan hubungan kita, dinda jangan hiraukan dia ya...,” kanda mencoba menenangkan aku. Akupun merasa sedikit tenang karna ketulusan kasih sayang yang kanda berikan.
Waktupun memisahkan kita dan kita hanya dapat tersenyum dengan sejuta rasa di dalam dada dan jam diding menunjukkan pukul 21.00. “Ya sudah, kanda pulang dulu ya dinda.” Kanda berpamitan sambil mencubit hidungku, aku hanya tersenyum manja menggodanya. “Ya sudah, hati-hati dijalan ya kanda.” Dengan rasa tak rela ku ditinggalkan.
Sungguh susah diungkapkan dan sulit dilukiskan, karena sepanjang hidupku baru kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda di hatiku. Membakar jiwaku dan meluluhkan perasaanku. “Mudah-mudahan dia yang terbaik untukku.” Pintaku kepada sang pencipta. “Amiiiiiiiin....,” Sahut seseorang dari belakangku. Ternyata laila, dia mengagetkanku dan membuyarkan hayalanku.
Tahun baru 2011 telah tiba, tahun bru serasa tak punya pacar hanya sendiri yang ku rasakan. Walaupun kekasih jauh disana namun tetap selalu dekat dihati. Di tahun ini aku berdo’a, semoga hubungan kita akan baik-baik saja dan selalu dalam ridho Allah SWT, amin.
Hubungan yang kita jalani selama satu tahun pertama berjalan diatas tanpa hambatan sedikitpun dan walaupun masih backstreet tapi kita merasa nyaman dan itu tidak menjadi permasalahan. Seiya sekata, senada seirama itulah konsep yang kita jalani. Hingga banyak teman-temanku dan teman-teman kanda yang iri akan kekompakan dan kecocokan kita berdua. Namun, terkadang sifat kanda yang konyol membuatku kecewa. Kanda sering matiin hpnya tanpa sebab dan tidak memberikan kabar kepadaku.
Roda selalu berputar, tak selamanya seseorang itu berada pada bagian yang paling atas Begitu pula pada kehidupan seseorang tak selamanya merasakan kebahagian, maupn dalam suatu hubungan yang banyak rintangan menghadang. Sebagai hamba Allah, aku hanya dapat berdo’a dan berusaha.
Pada suatu saat, karena aku tidak terima dengan perbuatannya. Dengan rasa terpaksa aku memutuskannya, mungkin dengan ini kanda bisa berubah. Terima tidak terima tapi inilah yang harus ku lakukan untuk hubungan kita. Sebenarnya aku masih menyayanginya dan sedih jika berpisah darinya. Maafkan aku kanda, aku yakin ini yang terbaik untuk kita berdua.
Hari-hariku lalui tanpa kanda, akupun merasa kesepian sememjak aku berpisah dengannya. Puasa ramadhan tiba aku mencoba menghubungi kanda, aku mau minta maaf padanya namun nomornya tidak aktiv. Aku tanya dengan teman-teman kanda melalui alat komuikasi. “Din, kamu tau tidak nomor barunya Ian....???”, Tanyaku kepada Udin. “Aku tidak tau cuy...,” Jawabnya dengan nada rendah. Akupun sedih ternyata teman dekatnya tidak mengetahuinya. “Gimana kabarnya Ian....??”, Tanyaku lebih lanjut. “Dia tidak dirumah, jadi aku tidak tau...,” Udinpun menjawab penuh penjelasan. “Emang dia kemana...??”, Akupun semakin penasaran. “Dia pergi kejakarta sebelum puasa kurang dua hari.” Dengan nada hati-hati Udin memberi tau aku keberadaan Ian. akupun merasa bersalah dengan semua ini. Aku bertanya pada teman kanda yang satunya Arif rahman yang biasa disapa Arif. “Rif, kamu tau tidak nomor Ian yang baru...??”, Dengan penuh harapan semoga dia tau. “Tau, tapi kamu jangan bilang kalau aku yang kasih tau kamu.” Jelasnya karna takut Ian marah padanya. “Iya, aku tidak akan bilang sama dia.” Aku memastikan Arif. Akupun mendapatkan nomor barunya kanda.
Sebelum berangkat tarawih aku mencoba menggodanya melalui pesan singkat, Kandapun membalasnya. Sepulang dari tarawih aku menelpon kanda namun tidak ada jawaban darinya. Dipagi harinya aku mencoba kembali, tetap saja tidak ada hasilnya. Sampai beberapa hari aku tidak menghubunginya.
Waktupun terus berjalan, hari-hari yang telah lalu membuatku semakin sedih. Tiba-tiba ada pesan singkat dari kanda yang berisi tentang perasaannya selama ini. Kanda tidak bisa jauh dariku, walaupun dia pergi jauh dan ganti nomor ternyata dia tetap tidak bisa melupakan aku. Aku bahagia atas kejujurannya selama ini. Kitapun balikan lagi sebelum lebaran kurang seminggu. Aku juga merasa kehilangan saat tak bersamanya lagi, karna sebenarnya aku sangat menyayanginya.
Lebaran telah tiba, pada hari lebaran ke 5 kanda dan Udin silaturrahmi kerumahku. Disaat itu nenek yang tinggal di dekat rumahku sedang sakit. Banyak saudara yang datang tidak lain adalah anak-anaknya beserta keluarga. Setelah beberapa jam kemudian kamipun pergi main ketempat Lya yang lumayan jauh dari rumahku. Aku mengajak adik sepupuku namanya sofiatul afifah yang biasa disapa fifi. Dia masih bersekolah di SMPN 1 Punggur kelas 2.
Hidupku terasa indah karna kebersamaan yang kini telah kembali, aku dan kanda selalu melengkapi kekurangan masing-masing. Roda terus berputar dan di pertengahan tahun kedua cinta kita diuji. Pengumuman kelulusanku telah tiba, aku dan teman-teman sangat bahagia karna kami masih bisa bersama. Aku dan teman melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi yaitu di STAIN Jurai Siwo Metro. Walaupun kami tidak satu jurusan namun kami masih bisa bertemu.  Suasana baru dibangku kuliah menjadi pemicu pertengkaran hingga retaknya hubunganku dengan kanda.
Kesibukanku yang bertubi-tubi, kabar yang semakin hilang dan pertemuan yang tak pernah ada. Membuat kanda tertekan dan salah paham, akupun menyadari akan hal itu. Masalah demi masalah datang tanpa kita tau darimana sumbernya. Kesabaran kanda mencapai pada puncaknya, akan sifat dan sikapku yang terus-terusan memojokkan kanda dan perpisahan menjadi jawaban dari pertengkaran kita.
Sungguh hatiku tak kuasa menahan lara akan keputusan ini, hatikupun hancur berkeping-keping dan haprapanku kini menjadi kenangan pahit yang harus aku lupakan. Kini hanya do’a yang dapat aku titihkan dalam hembusan nafasku disetiap sujudku. Semoga kanda selalu bahagia dengan jalan hidupnya yang baru. Ternyata ketulusan itu tidak mudah untuk disuguhkan dan teramat sakit saat dipertanyakan, namun dari awal aku mengenalnya bukan belaajar mencintainya tapi aku belajar tulus untuk menyayanginya dan dari ketulusan itu aku harus belajar untuk ikhlas merelakannya.
Seiring bergulirnya waktu dan padatnya kesibukan yang ku jalani, sejenak aku dapat membaurkan bayangan kanda dalam pikiranku walau tak dapat aku ingkari namanya yang masih tergores didalam hatiku. Aku hanya ingin kanda bahagia meski tak bersamaku lagi. “Jika kita berjodoh, pasti kita akan bersatu kembali.” Itulah kata-kataku terakhir untuknya.

***** SEKIAN *****

0 komentar:

Posting Komentar